Hi!Pontianak – Fasilitas kesehatan yang memadai serta pelayanan yang normal masih menjadi harapan bagi dr. Praluki Herliawan. Dokter umum asal Bandung, Jawa Barat, ini ditugaskan ke Puring Kencana. Sebuah daerah terpencil di ujung Kalbar, tepatnya di Kabupaten Kapuas Hulu.
“Tidak pernah terlintas sebelumnya bahwa saya akan mengabdi di tempat sangat terpencil seperti ini. Saya adalah seorang dokter umum asal Bandung yang bertugas di Puskesmas Puring Kencana,” ungkap Luki, sapaan akrab Praluki Herliawan kepada Hi!Pontianak, Selasa, 7 Juni 2022.
“Awalnya ketika membayangkan kata ‘Puring Kencana’ adalah kehidupan dan pelayanan yang normal. Listrik, air, sinyal dan fasilitas dasar lain cukup aman mengingat namanya sudah modern. Namun ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya semua harapan tersebut kandas,” timpalnya.
Kendati demikian selama bertugas di Puring Kencana, banyak pengalaman berharga yang dirasakan oleh Luki. Pengalaman itu tentunya tak akan ia dapati ketika mengabdi di perkotaan.
Luki merupakan dokter lulusan 2019. Sebelum mengabdi Puskesmas Puring Kencana, Luki bekerja di Santosa Hospital Bandung Kopo. Lalu, pada 5 Januari 2022, ia dikontrak oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas Hulu selama satu tahun untuk bertugas di Puskesmas Puring Kencana.
Diketahui, Puring Kencana adalah sebuah kecamatan paling ujung di Kabupaten Kapuas Hulu yang wilayah utaranya berbatasan langsung dengan Lubok Antu, Karesidenan Sri Aman, Sarawak, Malaysia. Puskemas tempat Luki bekerja terletak di Desa Sungai Antu dengan jarak sekitar 269 km dari Putussibau, ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu atau 926 km dari Pontianak.
“Akses yang harus dilalui untuk sampai ke Puskesmas cukup ekstrem. Ada dua pilihan perjalanan untuk menuju ke sana, melewati sungai maupun jalanan sawit yang sangat licin ketika hujan tiba,” ungkapnya.
Dengan kondisi jalan yang masih tanah kuning, ia mengatakan perlu memakan waktu kurang lebih 6 sampai 8 jam untuk membawa pasien rujukan ke RSUD terdekat, yakni RSUD A. Diponegoro Putussibau.
“Saya pernah mendapat pasien sepsis (infeksi sistemik) terkena paraquat diklorida. Namun persediaan antibiotik injeksi di puskesmas habis, sementara untuk merujuk pasien, diperlukan waktu 6-7 jam dengan akses yang ekstrem ke RSUD terdekat, RSUD Achmad Diponegoro Putussibau,” beber Luki.
Bukanya hanya akses jalan yang belum memadai, desa tempat ia tinggal pun masih mengandalkan listrik yang didapat dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Sehingga dikatakan Luki, ketika tidak ada hujan selama 4 hari berturut-turut mereka kesulitan untuk mendapatkan pasokan listrik.
Masalah listrik menjadi salah satu tantangan yang mereka hadapi. Kurangnya pasokan listrik membuat Puskesmas tidak bisa secara fleksibel menjalankan alat rekam jantung, mesin oksigen, mesin suction atau penghisap, dan bahkan lampu kamar rawat inap.
“Pernah suatu ketika, saya dan salah satu bidan di puskesmas menolong persalinan normal jam 4 pagi, tanpa adanya listrik. Untungnya puskesmas mempunyai panel surya yang bisa terpakai seadanya ketika ada pasien gawat darurat,” ceritanya.
“Kami sebisa mungkin cari pencahayaan memakai senter dulu untuk menginfus, baru setelah itu kami coba untuk menghidupkan solar panel yang ternyata bisa menghidupkan beberapa lampu. Kebetulan bayinya lahir pukul 5.30 WIB yang mana sudah mulai terang, bayi dan ibu sehat selamat,” sambung Luki.
Sulit Dapatkan Air Bersih
Selain terbatas listrik, Luki mengatakan puskesmas tempat ia bekerja dan lingkungan sekitar juga sulit mendapatkan air bersih. Sehingga membuat pekerja kesehatan, pasien maupun keluarga pasien kesulitan untuk sekedar buang air di fasilitas kesehatan disana.
“Warga sekitar juga sering memilih mandi di sungai ketika air sudah mulai tidak ada di rumah mereka. Air juga sangat berdampak ke pelayanan karena ketika ada pasien rawat inap, bahkan keluarga pasien pun kesulitan untuk sekadar buang air di fasilitas kesehatan kami,” tutur Luki.
Luki juga menceritakan pengalaman menariknya. Ketika Indonesia dan Malaysia gencar melaksanakan vaksinasi COVID-19, ternyata banyak warga desa di sana memiliki kewarganegaraan ganda atau bipatride.
“Ketika ada suatu kasus yang perlu dirujuk, tidak jarang pasien di sini memutuskan langsung pergi ke fasilitas kesehatan di Sri Aman atau Kuching. Pernah saat pemerintah Indonesia maupun Malaysia sedang gencar melakukan vaksinasi massal untuk semua golongan usia, banyak ditemukan warga yang sudah vaksin tiga kali di Malaysia, dan tiga kali di Indonesia, sehingga sudah 6 kali menerima suntikan vaksin dengan berbagai merk. Cukup terbayang tingginya imun warga di kecamatan di sini,” jelasnya.
Saat ini Luki telah berada di sana kurang lebih hampir setengah tahun. Meskipun banyak mengalami masa sulit, tetapi ia senang dapat membantu masyarakat Puring Kencana. Apalagi, masyarakat di sana kesulitan mendapatkan akses kesejatan. Bahkan, sudah hampir 2 tahun tidak ada dokter di kecamatan tersebut.
Luki mengaku betah di sana. Apalagi, masyarakat setempat sangat terbuka dan ramah kepada mereka.
“Banyak sekali syukur saya ucapkan karena terlalu banyak pengalaman berharga yang banyak didapatkan baik sebagai dokter maupun sebagai manusia. Saya berkesempatan menolong serta melihat kematian dan kelahiran, suka dan duka, tawa dan haru di bagian paling ujung dari negara ini,” ungkapnya.
Luki berharap, lewat ceritanya ini pemerintah lebih memperhatikan daerah perbatasan, Sebab, menurutnya jika dibandingkan dengan perbatasan Malaysia, fasilitas dasar di Puring Kencana ini tergolong masih sangat minim.
“Saya hanya berharap, derajat kesehatan masyarakat di Puring Kencana akan lebih baik lagi nantinya ketika fasilitas umum seperti akses, listrik, air serta sinyal diperbaiki secara komprehensif,” pungkasnya.